Sebab-Sebab
Kesombongan
Imam
al-Ghazali dalam Ihya` Ulumuddin menjelaskan ada tujuh hal yang dapat mendorong
seseorang berbuat sombong. Ketujuh hal tersebut antara lain:
1. اَلْعِلْم (ilmu)
Sejatinya,
seorang yang berilmu memiliki sikap rendah hati. Semakin berisi semakin
merunduk. Demikian falsafah padi mengajarkan. Namun, memiliki ilmu terkadang
membuat si pemilik ilmu menjadi sombong: merasa diri paling pintar, merasa diri
paling tahu, merasa diri paling paham. Orang lain, dianggapnya tidak tahu
apa-apa.
Oleh karena itu, seorang berilmu hendaknya
hati-hati karena bisa saja ilmu yang dimilikinya malah membuatnya angkuh. Kok
bisa begitu? Ya, bisa saja. Setan kan punya segudang cara untuk menjerumuskan
manusia ke lembah dosa dan maksiat? Termasuk menyusupkan kesombangan kepada
orang berilmu. Maka, kita berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Sombong
itu urusan hati, tetapi sombong bisa dilihat dari fisik atau tampilan luar.
Hanya saja, tidak selamanya fisik mencerminkan hati. Misalnya, karena merasa
tahu dan paham, seorang ‘alim menjawab pertanyaan jama’ahnya dengan nada tinggi
ditambah retorika dan mimik mukanya mencerminkan ketidaktawadhuan. Orang
berilmu seperti ini bisa saja sedang dihinggapi setan dengan menunggangi
kesombongan.
Jamaluddin bin Muhammad al-Qasimi dalam
kitabnya Mau’izhatul Hasanah min Ihya` ‘Ulumuddin menjelaskan bahwa dalam hal
ilmu menjadi penyebab kesombongan, ada dua faktor yang memungkinkan terjadinya
kesombongan dengan ilmu. Pertama, sibuk dengan
ilmu, tetapi ilmunya bukan ilmu yang hakiki. Ilmu yang hakiki sejatinya akan
membuat seorang hamba mengenal Allah yang kemudian ia memiliki rasa takut
kepada Allah (khasy-yah). Kedua, menyelami ilmu tetapi dengan cara yang
tidak baik, hati yang kotor dan akhlak yang tercela. Maka, ilmunya akan
membuatnya sombong.
2. اَلْعَمَلُ
وَالْعِبَادَةُ (amal
dan ibadah)
Penyebab
kesombongan yang kedua adalah amal dan ibadah. Merasa amal yang telah
dilaksanakan begitu banyak, besar dan berharga, hati seseorang menjadi angkuh.
Ia menganggap orang lain tidak bisa beramal seperti yang ia lakukan. Padahal, dalam hal ini Rasulullah saw.
bersabda:
بِحَسْبِ امْرِئٍ
مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
“Cukuplah seseorang dilabeli buruk ketika ia
merendahkan saudaranya yang muslim”.
(H.R. Muslim).
Selain itu, ketika ia melihat orang lain
beramal dan beribadah, ia merasa amal dan ibadahnya lebih baik daripada orang
tersebut. Dengan hanya rajin ke pengajian, ia merasa sudah cukup amalnya.
Dengan tahajud setiap malam, shadaqah rutin dan besar, umrah dan haji, ia
merasa sudah mendapat kunci surga.
Kita harus hati-hati dari perasaan demikian.
Hal seperti itu merupakan bisikan setan agar amal dan ibadah kita menjadi
rusak. Sudah cape-cape beramal, ternyata amal menjadi rusak gara-gara kesombangan
ketika atau selepas beramal. Sedangkan kesombongan itu sama saja menghinakan
diri di hadapan Allah karena jelas-jelas tidak ada yang bisa menandingi Allah
dalam hal keutamaan dan kekuasaan.
3. اَلْحَسَبُ
وَالنَّسَبُ (keturunan, nasab)
Selanjutnya, kesombongan bisa saja timbul
karena faktor keturunan dan nasab keluarga. Memiliki orang tua sebagai tokoh
besar suatu masyarakat, seseorang busung dada ketika berhadapan dengan yang
lain. Memiliki saudara yang sukses berpendidikan tinggi,
seseorang membangga-banggakan diri di depan sahabat-sahabatnya.
Ini
jelas tidak lah patut. Kenapa? Ya… bukan dirinya yang menjadi tokoh besar tetapi
orangtuanya. Bukan pula dirinya yang berpendidikan tinggi, melainkan
saudaranya. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Apakah sudah melebihi mereka atau
minimal seperti mereka? Maka, kenapa harus sombong?
Dalam
pelajaran Adabiyah (moral, etika), ada sebuah ungkapan:
لَيْسَ الْفَتَى مَنْ
يَقُوْلُ كَانَ أَبِي... لَكِنَّ الْفَتَى مَنْ يَقُوْلُ هَا أَنَاذَا...
“Bukanlah disebut pemuda yang mengatakan, ‘Inilah ayahku’…
tetapi pemuda itu adalah yang mengatakan, ‘Inilah aku’.”
4. اَلْجَمَالُ (ketampanan, kecantikan)
Menurut
A, si Fulan itu tampan. Tetapi, B mengatakan biasa saja. Menurut Abdullah si
Fulanah cantik. Namun, Abdurrahman mengatakan standar-standar saja. Nah, siapa
yang benar? Si A atau B? ini tergantung “selera”. Jadi, dua-duanya benar
perspektif masing-masing.
Ilustrasi
sederhana tersebut menunjukkan bahwa ketampanan dan kecantikan tidak bisa menjadi
standar atau ukuran mulianya seseorang. Oleh karena itu, tidak sepatutnya
ketampanan atau kecantikan menjadikan seseorang angkuh karena tampan dan cantik
bersifat nisbi (relatif). Namun, bisa saja karena gangguan setan, seseorang
sombong dengan tampilan fisiknya yang indah.
Setan
akan terus menggoda anak Adam agar ketampanan dan kecantikan yang dimilikinya
ia pamer-pamerkan. Selain itu, orang lain dianggapnya tidak lebih tampan atau
cantik daripada dirinya, kemudian ia merasa gagah dengan penampilannya.
Sebagai penguat, ada sebuah hadits yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ لَا
يَنْظُرُ إِلَى صُوَرِكُمْ وَأَمْوَالِكُمْ وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
وَأَعْمَالِكُمْ
“Sesungguhnya Allah tidak akan melihat
bentuk rupa dan harta kalian, tetapi Allah melihat kepada hati dan amal-amal
kalian” (H.R. Muslim).
5. اَلْمَالُ (harta)
Harta
adalah penyebab kesombongan selanjutnya. Selain sebagai alat beribadah, harta
bisa saja dijadikan alat oleh setan untuk menyusupkan kesombongan ke dalam hati
manusia. Kita harus berhati-hati dalam bab harta. Harta itu fitnah (ujian) dan
salah satu ujiannya adalah bisakah kita menjadi tawadhu meskipun harta melimpah
ruah? Bisakah kita menjadi sederhana seperti Rasulullah yang kaya raya, tetapi
Beliau tetap berpola sederhana? Informasi tambahan, mahar Rasulullah ketika
menikah dengan Khadijah sebanyak 20 ekor unta merah yang per ekornya senilai Rp
434.178.200 – Rp 651.267.300. Total mahar minimalnya berarti Rp 8.683.564.000
(8,6 Milyar).
Sebenarnya
harta itu bukanlah milik kita, melainkan milik Allah yang dititipkan kepada
kita. Jadi, jika ada orang yang sombong dengan hartanya yang melimpah, maka
orang itu tidak tahu malu. Adéan ku kuda beureum.
Sekali
lagi, mari berhati-hati agar harta yang dimiliki tidak menjadikan kita
berbangga diri alias sombong. tetapi, harta kita jadikan sebagai alat
beribadah, alat untuk masuk kedalam surga.
6. اَلْقُوَّةُ
وَشِدَّةُ الْبَطْشِ (kekuatan,
kerasnya penindasan)
Penyebab
kesombongan selanjutnya adalah kekuatan, kemampuan, dan kehebatan yang
dimiliki. Lagi-lagi kita harus ingat kepada Allah yang telah menciptakan kita
dengan segenap kemampuan dan keunikan. Sombong dengan kemampuan diri, sama saja
sombong dengan pemberian. Karena, kekuatan dan kemampuan diri merupakan
pemberian Allah.
Kita
pun perlu berlindung diri kepada Allah agar ketika kita memiliki skill
mapan dalam hal tertentu, dalam dakwah, pendidikan, bisnis, dll., kita tidak
memiliki kesombongan di dalam hati.
7. اَلْأَتْبَاعُ وَالْأَنْصَارُ
وَالْعَشِيْرَةُ وَالْأَقَارِبُ (pengikut,
penolong [backing], kelompok, kerabat)
Sebab
yang terakhir adalah pengikut, backing, kelompok atau kerabat dekat. Karena
teman dekat adalah seorang pejabat atau anggota dewan, lalu seseorang bebangga
diri. Karena memunyai bodyguard yang gagah dan berotot, seseorang
kemudian membusungkan dada. Karena memiliki pengikut (umat) yang banyak dan
berstrata tinggi, seorang ustadz atau kiayi merasa diri sukses dakwah. Semua
ini adalah jebakan yang setan buat. Hati-hati merupakan sikap terbaik dalam hal
ini.
Ketujuh
sebab yang disebutkan Imam al-Ghazali dalam kitabnya tersebut adalah
representasi dari banyak hal lain yang juga bisa menyebabkan diri menjadi
sombong. Pada intinya, kesombongan bukanlah hak makhluk, melainkan hak Allah
swt.. Sekali saja makhluk berlaku sombong, berarti ia “ngajak” tarung dengan
Allah swt..
Semoga
Allah melindungi kita dari sikap-sikap yang tidak baik termasuk sikap sombong
ini.
اَللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوْذُ بِكَ مِنْ
مُنْكَرَاتِ الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَالْأَهْوَاء
“Ya
Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kemungkaran akhlak, amal dan hawa nafsu”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar